Senin, 16 April 2012

Anak Tangki Minyak



Gemuruh suasana ibu kota nan padat dengan asap sisa hasil pembakaran mesin kendaraan menjadi suatu kondisi yang khas. Cuac panas yang terasa sangat pekat menerobos kulitku. Aspal jalan raya seperti sudah menjadi tumpuan tetap ku.

“eh … dating tuh dating !! “ terak seorang temanku ketika melihat sebuah bus pengangkut bahan bakar dari kejauhan. Kami segera bersiap menunggu bus itu melintas didepan kami, dan saat tiba waktunya, satu persatu dari kami bergantian mengambil sisa minyak yang ada didalam tabung raksasa itu.

Lelah kakiku berlari mengejar kendaraan yang menggantungkan nasib hidupku. Hamper setiap hari aku dan beberapa temanku melakukan “pekerjaan” seperti itu dari mulai siang hari sampai petang hari.

“udah dapet berapa hari ini ru?”

“baru satu botol ini saja…lu”

“setengah botol, hem…dapet berapa kalo Cuma segini ?”

“ ya gak tau deh, si bos kan suak ngasih harga semaunya”

“yah…bisa gak makan deh hari ini”

Perbincangan pendek itu menjadi topik rutin yang kami bicarakan setiap harinya. Serasnya hidup di ibukota membuat kami harus memutar otak untuk kelangsungan hidup diriku beserta keluarga. Lapangan kerja yang sangat minim menambah kemelut orang sepertiku. Matahari yang mulai terbenam menandakan berakhirnya pekerjaanku untuk hari ini. Botol-botol plastik air mineral ukuran 1,5 liter yang berisi minyak bahan bakar kami bawa kepengepul untuk disetorkan dan ditukan dengan uang.

“ini bang..” ucapku sambil menyodorkan sebotol minyak hasil usahaku.

“ya, bagus heru. Tapi kenapa jadi lebih sedikit disbanding dengan hari kemarin.” Tanya bang Togar dengan bahasa bataknya.

“lagi cape bang” jawabku singkat

“alah kau ini… buanglah rasa cape kau itu. Dengar, sekarang-sekarang ini banyak orang yang sedang membicarakan tentang BBM” ujar bang Togar dengan wajah seriusnya.

“terus kenapa bang?” sahutku bertanya-tanya.

“kau ini… aku belum selesai bicara” sambung bang Togar dengan nada sedikit meninggi.

“oh iya bang hehe, maaf…” jawabku takut melihat ekspresi bang Togar.

Dengan seksama aku mendengarkan cerita bang Togar tentang BBM yang kini menjadi primadona masyarakat Indonesia, mulai dari kalangan masyarakat biasa sampai dengan kalangan pejabat. Harganya yang diisukan akan naik membuat mereka kebakaran jenggot mendengarnya.

“maka dari itu ru, sebelum BBM berubah menjadi berlian kau harus memperbanyak hasilmu itu”
Perkataan bang Togar yang cukup memotivasiku untuk tidak bermalas-malasan dalam bekerja.

Suara langkah kaki Ibu yang sedari tadi lalu lalang membangunkanku. Ketika ku membuka mata, aku dapati Ibu yang sedang melakukan aktivitas paginya, yaitu menyiapkan segala keperluan keluargaku di pagi hari.

“udah bangun toh le…” ucap Ibu ketika melihat aku terbangun dari tidurku

“iya bu…” jawabku singkat.

Tak berapa lam kemudian aku bangun dan membantu Ibu, sosok wanita super yang pernah ada dalam hidupku. Sejak kecil hanya Ibu yang mengasuh dan membesarkanku dan kedua adikku dari kecil. Tak pernah aku mengenal sosok seorang Bapak dalam hidupku. Setiap aku menanyakan tentangnya, Ibu tidak pernah menjawabnya dan selalu mengalihkan pembicaraan.

“hari ini kamu tidak usah kerja dulu ya ru” ucap Ibu tiba-tiba.

“kenapa bu?” tanyaku bingung

“hari ini akan ada demo besar-besaran, bahaya kalau kamu tetap memaksakan diri untuk bekerja” jawab Ibu dengan nada khasnya.

“tapi bu, justru kata bang Togar harus bekerja lebih giat lagi sebelum nilai BBM seperti berlian” perjelasku meyakinkan Ibu.

Ibu hanya terdiam mendengar penjelasanku. Ibu khawatir jika nanti akan terjadi hal-hal yang buruk padaku. Namun, apa daya kini akulah tulang punggung keluarga. Aku tidak akan membiarkan Ibu bekerja keras untuk menghidupi kami bertiga.

Suasana yang tidak biasa jelas terlihat hari ini. Tidak terlihat teman-temanku yang biasanya sudah memarkirkan diri ditrotoar jalan Plumpang, tapi justru banyak komplotan polisi yang memajangkan diri mereka. Ketika aku hendak menuju ke bawah pohon dibelakang halte, seseorang memanggilku. Aku mencari sumber suara yang sedari tadi memanggilku dengan suara bisik-bisik. Dari kejauhan aku melihat teman-temanku yang mengumpat dibalik bangunan tua yang sudah lama tak dihuni. Ketika aku hendak menuju kesana, beberapa petugas polisi itu berjalan kearahku.

“hey kamu pencuri minyak!” teriak salah satu petugas aparat tersebut kepadaku.

Mendengar ucapannya, sontak membuatku kesal. Kubalikkan badanku kearah mereka. Ku berdiam diri, fokus melihat si sumber suara.

“kemana teman-teman pencurimu? Apakah mereka sudah tahu akan kedatangan kami?” ujar polisi yang lain.
aku hanya berdiam kesal mendengar mereka menjelek-jelekkan aku dan teman-temanku. Satu persatu dari mereka terus-menerus mengeluarkan kalimat-kalimat yang memojokkan kearah kriminal. Kesabaranku sampailah pada puncaknya, rasa kesalku meluap-luap kepada beberapa orang yang disebut-sebut sebagai pengayom masyarakat.

“kami bukan pencuri!!” ucapku tegas membalas perkataan mereka yang sedari tadi banyak bicara.

“oh… bukan pencuri? Lalu apa? Kau dan teman-temanmu sudah jelas mengambil minyak dari tangki kendaraan itu. Apa namanya kalau bukan pencuri?” jawab salah satu polisi dengan nada tinggi.

“kami hanya mengambil sisa minyak itu. Hanya sisa!!” sambungku dengan kesal.

“jadi masih membantah?” ucap salah satu polisi yang sedari tadi hanya berdiam diri melihat perbincangan sengit kami.

Sebuah pukulan bersarang diperutku yang membuatku meringkuk kesakitan. Melihat hal tersebut, teman-temanku yang sejak tadi hanya berada dipersembunyiannya satu persatu mulai keluar untuk membelaku.

Bentrok antara polisi dengan teman-teman seperjuanganku tak terhelak lagi. Luka yang awalnya hanya aku derita kini teman-temanku jga merasakannya. Awal niat kami untuk meneruskan hidup dengan cara seperti itu disalah artikan oleh aparat kepolisian. Sejak saat itu tak ada lagi “anak tangki minyak” yang setiap hari mengejar tangki kendaraan BBM.