“kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing !!!!!” jam weker berering kencang yang menandakan sudah pukul 06.00 tapi seperti biasany aku Vina Nindya Diningrat cewek keturunan Jawa memasukkannya ke kolong tempat tidur, lalu melanjutkan kembali mimpi indahku yang terhenti sejenak seperti DVD yang sedang di pause. Tiba-tiba didalam mimpiku seperti ada goncangan yang makin lama semakin dahsyat, dan ternyata goncangan itu berasal dari MAMA ?!
“Vin, bangun toh ndo ... bukannya kamu sekolah hari ini ?” dengan suara pelan dan terus menggoyang-goyangkan badanku agar aku terbangun.
“iya ma, nanti aja deh bangunnya ... masih ngantuk ! lagian ini juga baru jem 6” jawabku dengan mata merem.
“jam 6 dari mana toh ndo ? lohat iki jam berapa ?” balas mama sambil menunjukkan jam ditangannya.
Dengan mata yang merem-melek aku melihat jam mama.
“ha ?!!!” teriakku kaget melihat jam yang menunjukkan pukul 06.45 ! dengan cepat aku segera masuk ke kamar mandi dan berdandan kilat.
5 menit lagi bel masuk sekolah berbunyi. Setelah sampai di depan gerbang yang akan ditutup oleh pak Togar satpam sekolahku yang sangar itu, sekencang mungkin aku berlari dan ... aku berhasil masuk sekolah tepat waktu! Nafasku terengah-engah ketika berdiri didepan pos satpam. Namu perjuanganku belum berakhir. Aku harus menaiki berpuluh-puluh bahkab beratus-ratus anak tangga karena kelasku berada dilantai 3 ! huff. Tanpa pikr panjang aku kembali berlari menaiki anak tangga dan akhirnya aku sampai juga didepan kelas dengan terengah-engah.
“weiitz ... putri keraton. Gue kira kangjeng putri gak bakalan masuk sekolah. Hahaha ...” ledek Raka ketika aku baru saja sampai didepan pintu kelas yang membuat teman sekelasku ikut menertawaiku.
Dengan kesal dan malu akibat ledekan Raka, aku segera menuju tempat dudukku. Raka adalah salah satu teman sekelasku yang paaaaaaaliiiiing jail dan usil. Dia jugaorang yang paling sering buat aku bad mood di sekolah.
Suasana hatiku hari ini amat sangat BURUK gara-gara kesiangan tadi pagi + ledekan Raka yang menambah panas hatiku.
“hey Vin, bengong aja ?!” tanya Santi mengagetkanku yang sedang melamun.
“ha ?? ... gak apa-apa. Ngagetin aja kamu San !” jawabku sambil mengelus-elus dada karena kaget.
“he he he ...” santi hanya membalasnya dengan ketawa kecil.
“San ke kantin yuk, aku laper. Tadi pagi belum sempet sarapan” ajakku pada Santi.
“hayuu ...” jawab Santi penuh semangat.
Santi adalah teman sebangkuku. Orangnya sangat aktif – aktif dalam urusan shopping & ngegosipin temen-temen – tapi Santi orangnya sangat royal pada orang lain terutama orang yang sedang kesusahan.
Begitu memasuki kantin terdengar suara sorakyang ramai sampain telingaku sakit. Dengan penasaran aku dan Santi segera menuju sumber suara tersebut. Ternyata pada sumber suara tersebut dikerumuni oleh siswa/i. Dengan penasaran aku dan Santi segera menghampiri sumber suara yang membuat ramai itu. Setelah melihat sumber yang membuat ramai itu, aku tercengang. Ternyata penyebebnya adalah perkelahian antara Raka dan Dudi yang membuat semua murid bersemangat menyemangati keduanya yang sedang adu gulat.
“hei, hei ... sudah, sudah ... !” teriakku sambil melerai keduanya. Tapi tetap saja mereka tidak memperdulikan teriakkanku.
Dengan sekuat tenaga aku memisahkan mereka – herannya murid yang lain tidak ada yang membantuku memisahkan para pegulat gadungan itu termasuk Santi – dan tanpa kuduga tinju maut Raka bersarang di pipiku dan ...
“aaaaaaaawwwww !!!!!!!” teriakku kencang yang menghentikan perkelahian kedua orang itu dan juga sorak-sorak murid-murid yang lain.
Setelah teriakan kencangku karena tinju maut Raka bersarang dipipiku, aku tidak ingat apa-apa lagi. Saat aku terbangun aku sudah berada di UKS dan Santi mendampingiku dengan raut wajah khawatir.
“Vin ... kamu udah sadar ?” tanya Santi pelan
Entah mengapa mulutku tak bisa dibuka dan tidak bisa mengeluarkan suara, jadi aku hanya bisa menganggukkan kepalaku. Santi pun mengerti dengan kondisiku saat ini.
“kok aku ada disini ?” tanyaku dengan suara berbisik
“tadi kamu pingsan soalnya ketonjok sama si Raka, kenceng loh Vin ...” jawab Santi dengan penuh ekspresi.
“oh ...” sahutku sambil mengingat-ingat peristowa tadi.
“Vin, tau gak ?tadi pas kamu pingsan Raka khawatir banget lih !” beritahu Santi dengan wajah penuh gosip.
“oyaah ?!” tanggapku tak percaya.
“iya, dia juga yang membawamu sampai sini ...” lanjut Santi bercerita.
Aku hanya bisa diam mendengar cerita Santi. Antara percaya dan tidak dengan apa yang telah dia lakukan terhadapku tadi.
Pasca kejadian itu aku jarang melihat Rakadan Dudi hari itu. Mugkin mereka masuk ruang BP dan berhadapan dengan Pak Soleh serta kata-katanya yang tajam, menusuk sampai tulang. Tapi yanng masih menjadi pikiranku kenapa mereka bisa berkkelahi seperti itu ? apa penyebabnya ? dan yang membuatku lebih tidak percaya, apa benar Raka yang membawaku ke UKS setelah indsiden itu ??? hem ... entahlah !
Sesampainya dirumah, ibuku kaget dan heboh melihat pipi kananku lebam.
“yaampun ndo ... kenapa kamu ? tanya ibuku khawatir.
“gapapa bu, tad kepeleset waktu lari tadi pagi” jawabku berbohong.
“ngapain kamu lari nndo ?” tanya ibuku penasaran.
“kan tadi pagi aku kesiangan bu. Sudahlah, gausah di pikirin biasa aja bu ...” jawabku berbohong lagi dan langsung memasuki kamar agar tidak ditanya macem-macem lagi oleh ibu.
Dikamar aku mengunci diri dan merasakan sakitnya tinju maut Raka yang diberikannya kepadaku –walau pun tidak sengaja – rasanya nyut ... nyut ... nyut ... seperti membenturkan diri sekencang-kencangnya ke tembok besi. Aku bercermin melihat memarku yang merupakan hasil karya Raka.
“ha ... ?!!” teriakku kaget melihat wajahku terdapat memar berwarna ungu terong. Penasaran dengan apa yang kulihat, aku memegang bagian yang berwarna ungu tersebut dan hasilnya ...
“aaaaaaaaaaaawwww !!!!!!!!!!” aku berteriak kesakitan.
Mendengar teriakan superku ibu datang menghampiri kamarku bermaksud memastikan keadaanku.
“kamu kenapa ndo ?” tanya ibuku penasaran sambil mencoba membuka pintu dan mengetok-ngetoknya bekali-kali.
“gapapa bu ...” jawabku pelan
“kalo nda apa-apa kkenapa kamu teriak ndo ?” tanya lagi dengan penuh penasaran.
“tadi Cuma kepegang lebamku ini” jawabku lagi.
“yasudah kalo kenapa-kenapa panggil ibu ya ndo” beritahu ibu yang kemudian tak terdengar lagi suaranya. Mungkin ibu sudah mengerti dengan kondisiku sekarang dengan memar dipipiku ini.
Waktu terasa sangat singkat dan tidak terasa sudah waktunya aku sekolah lagi. Sejak malam aku memikirkan “sekolah gak yah aku hari ini??” tapi aku berusaha berpikir jernih dan rasional dengan pertanyaan dari diriku sendiri dan aku memutuskan aku harus tetap sekolah ! jangan hanya karena pipi lebamku ini akau tidak masuk sekolah. Aku juga ingin menunjukkan kepada si Raka kalau aku bukanlah cewek cengeng dan manja hanya karena masalah kemarin tidak masuk sekolah. Dengan sigap aku mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah agar tidak terulang lagi telatku seperti sebelumnya.
Begitu hendak pamit dan pergi sekolah, ibu menyarankan untuk menutupi lebamku dengan perban atau sapu tangan.
“gak mau ah bu ... ribet ! lagian Cuma memar biasa doang” jawabku menolak saran ibu yang menurutku lebay.
“loh kenapa gak mau ? kan ini buat kamu juga ndo” jawab ibuku meyakinkan agar aku menuruti sarannya.
Setelah ku pikirkan sejenak aku memutuskan memakai sapu tangan untuk menutupi memarku dan aku bergegas pergi sekolah karena aku tidak mau kejadian telat kemarin terulang lagi.
Sepertinya hari ini akku datang terlalu pagi karena begitu aku datang dan sampai di depan gerbang sekolah, keadaan sekitar sepi seklai. Bahkan pak Togar pun baru datang dan sedang merapihkan basecamp-nya yang superduper minimalis dengan ukuran badannya yang maximize. Ternyata begitu aku lihat jam tanganku sekarang baru jam 06.15 !! OH MY GOD !! kagetku dalam hati.
“tumben kali kau datang jam segini ?” tanya pak Togar dengan logat Batak khasnya yang mengagetkan.
“heh ? ... ah, itu pak kayanya saya kepagian. Hehe” jawabku sambil senyum.
Sambil menunggu murid-murid yang lain berdatangan aku ngobrol dengan pak Togar di basecamp kesayangannya. Ternyata kisah hidup pak Togar sangat unik. Satpam sekolahku ini merantau dari kampung halamannya di Medan ke jakarta hanya untuk mencari pekerjaan, padahal orangtuanya di Medan bisa dibilang salah satu orang terpandang dikampung halamannya.
“saya tidak mau terlalu berketergantungan dengan orangtua, saya ingin hidup mandiri” beritahu pak Togar alasannya kenapa ia seperti itu. Siapa menyangka seorang pak Togar, satpam sangar disekolah mempunyai cerita hidup seperti itu. Waktu tak terasa cepat berjalan begitu aku ngobrol dengan pak Togar dan waktu pun menunjukkan pukul 06.30 tapi murid-murid belum juga kunjung datang.
Aku memutuskan untuk pergi kekelas walaupun dari tadi aku belum melihat teman-temanku yang datang ke sekolah. Begitu aku hendak keluar pos satpam, aku terhenti melihat sosok yang sangat aku kenal, Raka. Aku tidak menyangka orang seperti dia datang sepagi ini. Aku hanya tercengang melihat dia lewat didepanku.
“kenapa pula kau berdiri di depan pintu ?” tanya pak Togar melihatku berdiri di depan pitu pos satpam seperti patung selamat datanng.
Aku tidak bisa berkata apa-apa melihat kenyataan yang baru saja lewat didepanku dan aku hanya bisa menunjuk-nunjuknya. Pak Togar penasaran dengan objek yang membuatku kaku seperti patung langsung berdiri dan melihat keluar.
“oh ... Raka. Murid kelas XI IPA 1 kan ? dia memang selalu datang jam segini dan dia murid pertama yang datang kesekolah” beritahu pak Togar dan membuatku tambah tercengang mendengarnya.
“murid pertama ... ?” tanyaku tidak percaya.
“iya, dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di sekolah ini dialah murid pertama yang datang kesekolah” jawab pak Togar dengan sedikit Lebay.
Aku terdiam sejenak memikirkan perkataan pak Togar tentang si tengil itu, namun setelah tersadar dari lamunanku akku segera menuju ke kelas.
Aku menghentikan langkahku ketika mendekati pintu kelas. Entah mengapa kakiku ini sulit sekali untuk beranjak. Tanpa membuang waktu lagi aku berusaha masuk kedalam kelas. Begitu aku masuk, Raka sedikit terkejut dengan kedatanganku. Menaggapi respon dia aku hanya tertunduk dan segera menuju tempat dudukku. Entah mengapa aku seperti menjadi patung saar ini – padahal dari kemarin aku pengen banget jambak-jambak rambut kesayangannya—sangat aneh !
“hoooooooaaaaamm ...” rasa ngantukku dahsyat ! ditambah lagi pelajaran Bahasa Indonesia yang diajarkan oleh ibu Tuti, seperti sedang dibacakan dongeng dan aku menjadi bayinya. Tak seperti biasanya aku ngantuk seperti ini, mungkin karena jadwal bangunku hari ini terlalu pagi. Ketika bu Tuti selesai membacakan dongengnya, aku izin untuk ke kamar mandi. Tapi tiba-tiba bu Tuti memanggilku ...
“Vina tunggu, kenapa pipi kamu itu ?” tanya bu Tuti yang baru ngeuh dengan memar dipipiku ini.
“eum ... “ aku bingung bagaimana cara menjawabnya. Sepintas aku melihat ke arah Raka, dia pun tertunduk.
“jatoh bu, kemarin” sambungku berbohong.
Mendengar perkataanku bu Tuti hanya menganggukkan kepalanya dan teman-teman sekelasku melihat ke arah Raka. Tanoa basa-basi aku berbalik badan dan segera menuju kamar mandi.
Kubasuh wajahku berkali-kali agar rasa ngantukku hilang. Lalu aku bercermin pada cermin yang ada didepanku. Kupandangi memarku lagi, ketikaku pegang seujung jari pun rasa sakitnya timbul hebat. Setelah kukira cukup untuk menghilangkan rasa ngantukku, aku kembali lagi kekelas. Aku duduk dan melihat handphone-ku yang aku simpan dilaci mejaku dan ternyata ada sms masuk.
“maaf”
Smsnya sangat aneh dan nomor pengirimnya pun tidk aku kenal. Aku abaikan pesan itu dan kembali mengikuti pelajaran bu Tuti.
Akhirnya waktunya pulang. Hari ini amat sangat melelahkan bagiku. Padahal rutinitasku sama seperti biasanya yang membedakan hanya diwaktu bangun tidur tadi pagi saja.
“Vina !” terdengar suara yang tidak asing memanggilku ketika aku sedang merapihkan buku-bukuku. Ternyata itu suara Dudi yang berdiri didepan pintu kelasku.
“masih punya nyali loe nongol disini ?” tiba-tiba Raka menganggap kedatangan Dudi dengan tampang tidak suka.
“heh, gue kesini gada urusan sama loe, tapi sama Vina jadi gausah sok tau !” jawab Dudi dengan nada meninggi.
“ngajak Ribut loe !?” jawab Raka dengan penuh emosi. Untung saja teman-teman Raka –lebih tepatnya anak buah Raka—segera menahan Raja.
“ih apa-apaan sih ? dia tuh kesini mau ketemu sama aku bukan sama kamu” perjelasku sekaligus mendinginkan suasana.
Mendengar ucapanku, Raka duduk kembali dengan wajah kesal. Agar tidak terjadi keributan yang kedua kalinya, aku segera menghampiri Dudi dan mengajaknya pergi meninggalkan kelasku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar