Jumat, 27 Januari 2012

Dia tetaplah sahabatku...

Kisah persahabatan memang tidak akan ada akhirnya. Arti sebuah persahabatan yang sampai saat ini masih sangat terasa dan mungkin tidak akan terlupakan. Serumit apapun itu tetap akan terselesaikan dengan kebersamaan yang abadi. Kisah ini dimulai saatku duduk dibangku Sekolah Menengah Atas. Aku dan 5 sahabat baikku Handa, Ayu, Octa, Lia dan Susan selalu bersama. Tak tahu sejak kapan kami jadi sedekat ini. Mungkin ada beberapa kesamaan dari kami yang menjadikan kami menjadi sahabat seperti sekarang ini. Mulai dari kelas yang sama sampai organisasi yang kami ikuti.

Walaupun pada dasarnya manusia memiliki sifat dan karakter yang berbeda kami selalu mencoba menyamaratakannya. Handa temanku yang gendut ini ahli dalam pelajaran Matematika, memiliki sifat yang sedikit keras dan berpendirian kuat. Ayu temanku yang ahli debat pada pelajaran Kewarganegaraan ini adalah tipe orang yang segala sesuatunya dipikirkan dengan sangat rasional dan logis. Octa sahabatku yang paling imut diantara yang imut dan bisa dibilang kembang sekolah ini merupakan sosok yang mandiri tapi manja. Lia si jangkung yang merupakan kembaran jauhnya salah satu artis remaja (baca:Mikha Tambayong) sangatlah lembut baik dari kelakuannya maupun cara bicaranya tapi jangan samakan pada saat dia marah, beda 180 derajat. Yang terakhir Susan, temanku yang memiliki ciri khas dari bentuk matanya yang agak sipit itu orangnya sedikit linglung dan sedikit lama dalam menyerap perbincangan apabila kami sedang berkumpul. Dan aku? Aku hanyalah gadis yang sedikit gemuk dan sangat menyukai olahraga basket.


Suatu saat persahabatan kami pun mendapatkan cobaannya. Octa mendapatkan sedikit masalah dalam keluarganya hingga dia menjadi sedikit tertutup pada kami, ditambah lagi dengan pacar baru Octa yang membuat kelakuan Octa semakin aneh.

“ta lu kok jadi beda sekarang?” tanyaku pada Octa.
“ga ada apa-apa ko Wid”
“gue yakin lo ada apa-apa, cerita dooooong”
“hem, tapi janji ya jangan bilang siapa-siapa?”
“iye ta”

Setelah menyetujui permintaan Octa, diapun menceritakan semuanya yang selama ini ia tutup-tutupi dari kami. Pacar Octa yang awalnya diperkenalkan oleh mamanya merupakan sosok laki-laki yang umurnya terpaut jauh diatasnya dan merupakan seorang single parents dengan dua orang anak.

“Ha? Terus?”
“ya gitu, gue udah sayang banget sama dia Wid”
“nyokap lo tau kalo dia punya anak?”
“ya iyalah, kan nyokap gue yang ngenalin”
“hem... bagus deh kalo nyokap lo tau, takutnya nyokap lo ga tau. Terus?”
“terus apa lagi? Teras terus teras terus... kaya tukang parkir lo”
“hehe... maksud gue terus reaksi nyokap lo gimana?”
“fine fine aja, alhamdulillah”
“syukur deh kalo gitu”

Mendegar penjabaran Octa, diriku seperti tersetrum tegangan listrik. Tapi perasaanku sedikit lega karena orangtua Octa sudah terlibat didalamnya.

Suatu hari Ramdhan, pacar Octa datang ke sekolah untuk menjeputnya. Kedatangan Ramdhan itu pun menimbulkan sejumlah pertanyaan pada sahabat-sahabatku yang lain. Seolah tidak percaya, Handa pun menanyakannya pada Octa.

“ta itu cowo lo?”
“iya Han, kenapa?”
“hem... ga apa-apa hehe”

Sulit dipercaya setelah mengetahui hal itu, tapi aku sudah memperkirakan dan membayangkannya setelah Octa menceritakan yang sebenarnya tentang pacarnya itu.

Hubungan sahabatku dengan pacarnya itu makin hari kudengar makin baik. Tidak ada sesuatu yang membuat sahabatku jadikan masalah. Kami pun menjalankan aktivitas kami seperti biasa bersama-sama. Di tingkat akhir pada Sekolah Menegah Atas kami ini, kami mempunyai target untuk mencapai nilai yang maksimal. Kegiatan kami di organisasi yang kami ikuti sudah mulai kami tinggalkan demi menjaga konsentrasi kami pada pelajaran yang nanti akan diujiankan. Namun ada yang sedikit berbeda pada Octa, akhir-akhir ini ia sering tidak masuk sekolah dengan berbagai alasan. Kami takut terjadi apa-apa pada sahabat kami itu.

“cek ibu kontrakan lo ga masuk lagi?” tanya Ayu
“iya semalem dia sms katanya dia sakit, asam lambungnya tinggi”
“ya Allah, sebentar lagi kan udah mau try out kasian kalo dia ga masuk terus. Takutnya dia ketinggalan pelajaran”
“iya sih tapi mau gimana lagi namanya juga orang sakit”

Melihat sikap dan kelakuan Octa menjadi pertanyaan besar untuk kami. Ada apa dengan Octa? Akhir-akhir ini ia jadi jarang masuk sekolah dan sangat membuat kami kahawatir.

Hari-hari disekolah tanpa 1 sahabat kami terasa sangat berbeda. Tempat duduk kami yang biasanya berjajar penuh, sekarang tidak. Pada saat makan dikantin, tidak ada lagi yang kami marahi karena makanannya penuh dengan sambal dan cuka. Keingin tahuanku pada keadaan Octa semakin besar dan aku memutuskan untuk menanyakannya lansung pada Octa melalui pesan singkat.

To : Octa
Ta, gimana kabar lo?
Kata Susan lo sakit lagi ya? GWS ya, biar bisa sekolah lagi n kumpul bareng kita2.
Udah kangen berat niiih !! :p


Tak lama kemudian Octa pun membalasnya, ia menceritakan alasan kenapa akhir-akhir ini tidak masuk sekolah sampai akhirnya ia menceritakan tentang keuarganya padaku. Sungguh tak menyangka dengan kondisi keluarganya saat ini. Tekanan batin yang ia rasakan dari sang mama menjadi salah satu masalah yang membuatnya tidak dapat fokus pada pelajaran sekolah.

From : Octa
Gue jadi bingun Wid sama nyokap gue sendiri. Yang jadi pertanyaan gue tuh buat apa awalnya dia ngenalin gue sama Ramdhan kalo sekarang gue suruh ngejauhin dia.
Udah gitu kelakuan nyokap gue sekarang2 ini makin aneh...


Penjelasan panjang Octa cukup membuatku simpati pada keadaannya sekarang ini. Aku tidak bisa membayangkan bila aku yang ada diposisinya. Mendapat tekanan batin dari orangtua sendiri untuk melepaskan orang yang kita sayang dalam keadaan yang tidak sehat. Sungguh suatu keadaan yang sangat rumit.

From : Octa
Gue mohon lo jangan bilang ato kasih tau siapa pun tentang ini ya Wid...


Aku hanya bisa menjaga rahasia yang sudah Octa percayakan padaku, hanya itu yang bisa ku lakukan demi sahabatku.

Setelah hari penuh curhatan via telepon seluler itu Octa kembali masuk sekolah. Kami kembali merasakan kelengkapan yanng biasanya terasa sepi tanpa Octa.

“tau ga, lo tuh kaya setan. Hari ini sama besok masuk, ntar kaga, ntar masuk lagi, ntar kaga lagi” ledek Handa pada Octa.
“hehe... ya maklumlah namanya juga artis, sibuk!” jawab Octa dengan nada seperti artis yang super sibuk.

Melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Octa serentak mengundang tawa kami. Suatu moment yang sangat aku rindukan, saat berkumpul dengan orang-orang yang aku sayang. Tapi sayang tak berapa lama kemudian Octa kembali tidak masuk sekolah. Susan kembali mendapat sms dari Octa bahwa ia sakit lagi. Kali ini sangat membuat kami panik, karena 2 hari lagi akan diadakan try out terakhir pra Ujian Nasional. Pulang sekolah kami bermaksud berkunjung ke rumah Octa untuk memberikan kartu peserta try out dan mengantarkan buku latihan untuk belajarnya nanti. Seperti yang sudah direncanakan setelah bel pulang sekolah berbunyi kami langsung menuju rumah Octa yang tidak terlalu jauh dari sekolah.

Sesampainya dirumah Octa kami disambut oleh mamanya yang kebetulan membuka usaha dihalaman rumahnya.

“Octanya mana?” tanya mama Octa pada kami
Pertanyaan mama Octa yang singkat membuat kami sangat kaget. Seketika pertanyaan-pertanyaan tentang Octa hinggap di otak kami. Kami saling memandang satu sama lain dengan wajah kaget dan sangat tidak percaya.
“emm... tadi sih Octanya pulang duluan tante” jawab Ayu ragu
“pulang sama siapa dia? Sama Ramdhan ya?”
“kurang tau tuh tante, tadi pas Octa pulang kita masih dikelas”

Mendengar jawaban Ayu, orangtua Octa sedikit menggerutu tentang anaknya itu. Sangat diluar dugaan, tiba-tiba sang mama menceritakan semua tentang Octa sejak ia duduk di bangku SMP sampai dengan saat ini. Mendengar cerita mama Octa membuatku sangat bingung, karena apa yang kudengar saat ini dengan yang Octa ceritakan terdapat kejanggalan. Penasaran dengan keberadaan anaknya, orangtua Octa pun mencoba menghubungi Octa. 1 kali, 2 kali, 3 kali tidak ada respon dari sang penerima dan akhirnya mama Octa menghubugi Ramdhan. Tapi Ramdhan berkata bahwa ia sedang tidak bersama Octa. Kepanikan kami makin menjadi-jadi mendengar kabar tersebut dan demikian dengan mama Octa. Kami semua mengkhawatirkan Octa, kami takut hal-hal yang buruk menimpanya diluar sana. Setelah menunggu beberapa saat kami memutuskan untuk pulang. Selama perjalanan pulang fikiran kami terus menerus di kelilingi tentang Octa, kami hanya berharap tidak terjadi apa-apa padanya.

Malamnya, Octa mengirimkan sebuah pesan singkat yang isinya adalah ucapan terima kasih tapi diikuti dengan kata-kata kesal. Membaca pesan itu sontak membuatku bingung, kenapa akhirnya jadi begini? Niat kami yang hanya ingin mengetahui keadaan sahabat kami berakhir dengan kemarahan dan kekesalan Octa.

Kenapa jadi gini? Gue sama yg lain cuma khawatir sama lo, ta...

Keesokan harinya sikap Octa berubah 180 derajat dari biasanya. Sekarang ia menjadi jutek dan dingin pada kami. Memperhatikan hal tersebut tentu saja membuat kami kebingungan setengah mati.

“kok dia jadi gitu sih?” tanya Handa agak sewot
“ga tau gue, tadi dari tadi pagi juga diem-dieman gue sama dia” jawab Susan bingung
“mungkin dia marah sama kita gara-gara udah masuk ke privasinya” timbrung Ayu
“kita bukan ganggu privasinya tapi kita tuh care sama dia” tambah Lia yang selama ini seakan bungkam

Mendengar pendapat mereka aku hanya bisa diam, tidak tahu harus berbuat apa supaya Octa kembali menjadi seperti semula.

Antara kami dan Octa makin hari semakin jauh, tidak seperti dulu. Hal tersebut terus berlangsung hingga Ujian Nasional tiba. Ia yang mendapat tempat duduk dibarisan paling depan memudahkan kami terutama aku mengontrolnya selama ujian berlangsung. Selama ujian berlangsung kami melihat tidak ada kesulitan yang berarti pada sahabat kami itu. Waktunya pengumuman nilai-nilai ujian pun tiba. Kami (tanpa Octa) berlari kesana kemari mencari nilai hasil belajar kami selama 3 tahun yang ditentukan dari Ujian yang sebulan lalu kami laksanakan.

“gue liat, gue liat...” ucapku sambil memasuki kerumunan teman-teman sekelasku yang sedang melihat hasilnya masing-masing.
“nanti aja Wid, kalo udah pada puas baru kita yang puas-puasin” beritahu Ayu padaku.

Aku segera mundur dan keluar dari kerumunan kecil yang sangat padat itu dan berpesan pada Wira sang ketua kelas untuk memberikan hasil itu padaku setelah semua teman-teman melihat hasilnya. Ekspresi yang bermacam-macam pun terlihat jelas dari raut wajah teman-temanku yang lain setelah melihat hasil itu, dan sampai akhirnya giliran kami tiba untuk melihat hasilnya. Ekspresi senang langsung terpancar dari sahabat-sahabatku namun keceriaan terhenti sejenak setelah melihat hasil Octa.

“ya Allah...”
“kenapa yu?”
“liat nih...” sambil menunjuk ke suatu nama yang sangat akrab dengan kami

Octavia
Bahasa Indonesia ...
Bahasa Inggris ...
Matematika ...
Kompetensi Kejuruan ...


Melihat hasil sahabatku sungguh menghapus semua kegembiraan kami, meskipun ia dinyatakan lulus tapi sebagai sahabat kami merasa gagal dalam menjalin solidaritas diantara kami berenam. Kabar tentang sahabat kami semenjak pengumuman itu menjadi simpang siur tidak jelas. Ada yang mengatakan dia sudah pindah rumah, sudah bekerja dan lain-lain. Begitu aku dan Ayu mencoba menghubunginya tak ada nomor telepon yang bisa kami hubungi, hilang dan tak tahu kemana. Bahkan pada perpisahan sekolah pun dia tidak datang menampakkan batang hidungnya, kami hanya bisa menghela napas dan berharap segera bertemu dengan Octa.

Setelah lulus kami pun sibuk dengan dunia kami masing-masing. Aku, Ayu, Handa dan Susan sibuk dengan kuliah sedangkan Lia sibuk dengan kerjanya, dan Octa... sampai saat ini belum ada kabarnya. Masalah tentang sahabat kami sudah mulai terhapuskan dari benak kami karena kesibukkan kami masing-masing dan sampai pada suatu hari...

From : Handa
Dud telpon gue sekarang!


Setelah membacanya aku segera mengikuti instruksi dari pesan tersebut. Handa memberitahukan bahwa sekarang Octa sedang hamil 8 bulan dan ia ingin kami berkumpul dirumahnya. Mendengar kabar tersebut spontan aku sangat kaget dan tidak percaya, kami memutuskan hari ini juga berkunjung ke kediaman Octa sekarang. Namun Ayu, Susan dan Lia tidak bisa ikut dikarenakan kesibukannya masing-masing. Rasa penasaran sangat menyelimutiku saat ini, ingin rasanya segera melihat Octa yang sudah sekian lama tidak bertemu. Dipersimpangan jalan kami menunggu Octa, dan tak lama kemudian ia muncul. Seorang perempuan kecil dengan kondisi perut besar memakai jaket besar, sulit kupercaya kalau itu adalah Octa. Badan yang gemuk seperti ibu hamil pada umumnya terlihat jelas pada sahabat kami yang sudah lama tidak bertemu.

“Widi, Handa...” panggil Octa dengan suara khasnya sambil melambaikan tangan pada kami. Kami membalas panggilan dan lambaian tangannya itu.

Setelah itu kami dibawa kesebuah rumah kontrakan yang tidak jauh dari tempat kami bertemu. Kontrakan Octa dan suaminya Ramdhan yang berada di depan gang.

“ayo masuk masuk, maap ya kalo kecil” ajak Octa
“ga apa-apa kali ta, yang penting ada tempat tinggal” jawab Handa

Pertemuan kami kali itu adalah pertemuan setelah pengumuman kelulusan sekolah. Berbulan-bulan tidak bertemu dan ternyata ia sedang mempersiapkan diri menjadi seorang ibu. Pertanyaan demi pertanyaan seputar dirinya terus kami tanyakan pada sang narasumber. Mulai dari kabarnya hingga keadaan rumah tangga barunya.

“ya sekarang gue udah tenang soalnya udah punya temen hidup hehe” ucap Octa

Beberapa hari kemudian Lia da Susan ikut bersamaku dan Handa ke kediaman Octa yang baru. Suasana yang sudah lama tak kami rasakan kini kembali kurasakan bersama sahabat-sahabatku. Dan kini Octa telah melahirkan anak pertamanya, anak laki-laki yang sangat lucu dan aktif seperti ibunya. Kini kekhawatiranku dan yang lain terbayar sudah. Octa yang bahagia dengan kehidupan barunya sebagai seorang istri dan seorang ibu memberikan pelajaran yang sangat bermakna bagi kami. Bagaimana pun keadaan dan kondisi sahabat kita saat ini, dia tetaplah sahabatku yang ada disetiap senang dan sedihku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar